Peraturan Daerah, yang bila
kita merujuk pada pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh, disebut dengan nama Qanun untuk Provinsi Aceh, secara umum merupakan
regulasi turunan yang bersifat lebih spesifik sesuai dengan situasi dan kondisi
suatu daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan
landasan yuridis pembentukan peraturan perundang-undangan, baik di tingkat
pusat maupun daerah mengamanatkan secara jelas tentang tatalaksana regulasi.
Undang-undang ini memuat
secara lengkap pengaturan baik menyangkut sistem, asas, jenis dan materi
muatan, proses pembentukan yang dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik
penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan
penyebarluasan. Tertib pembentukan peraturan perundang-undangan, baik di
tingkat pusat maupun daerah, diatur sesuai dengan proses pembentukan dari jenis
dan hirarki serta materi muatan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 12 Undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004 menggariskan materi muatan Qanun adalah seluruh materi
muatan dalam rangka: (a) penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; (b)
menampung kondisi khusus daerah; serta (c) penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Dari segi materi muatan, Qanun adalah
peraturan yang paling banyak menanggung beban. Sebagai peraturan terendah dalam
hierarki peraturan perundang-undangan.
Dalam penyusunan Qanun, secara
global formal, selain mengacu pada undang-undang diatas, juga merujuk pada:
Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang
Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Secara spesifik formal mengacu
pada Permendagri dan Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2007 tentang Tata Cara
Pembentukan Qanun.
Partisipasi Masyarakat Dalam
Penyusunan Qanun
Konsep
partisipasi (participation) seringkali diterjemahkan hanya sebagai kontribusi
financial, material, dan tenaga dalam suatu program. Kadang juga diberi
pengertian sebagai self-help, self reliance, cooperation dan local autonomy
dimana istilah-istilah tersebut kurang menggambarkan apa yang dimaksud dengan
partisipasi itu sendiri. Self-help, self reliance dan local autonomy
menggambarkan kondisi akhir yang diharapkan dari suatu program yang memakai
pendekatan partisipatif. Cooperation menunjukkan cara bagaimana partisipasi
masyarakat diimplementasikan pada suatu kegiatan atau program.
Partisipasi
publik didefinisikan sebagai aktivitas oleh masyarakat untuk mempengaruhi
pembuatan kebijakan oleh pemerintah. Partisipasi publik atau dengan sebutan
masyarakat dilaksanakan agar setiap kebijakan yang dihasilkan tidak hanya
menimbulkan dampak positif, manfaat bagi sekelompok masyarakat tertentu saja,
tapi dapat memberikan dampak positif bagi kelompok masyarakat lainnya.
Pengelolaan
konsep partisipasi masyarakat yang tepat dan benar dalam pembuatan kebijakan
publik, termasuk Qanun akan memberikan landasan yang lebih baik untuk pembuatan
Qanun, yaitu:
Memastikan
adanya implementasi yang lebih efektif karena masyarakat mengetahui dan
terlibat dalam pembuatan Qanun.
Meningkatkan
kepercayaan masyarakat kepada eksekutif dan legislatif.
Efisiensi
sumber daya, sebab dengan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan Qanun maka
sumber daya yang digunakan dalam sosialisasi Qanun dapat dihemat.
Selain
itu untuk penyusunan Qanun yang berkualitas sebagaimana tercantum dalam Pasal 2
Ayat (1) Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 disebutkan bahwa Qanun dibentuk
berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Asas pembentukan
peraturan perundangan-undangan tersebut meliputi diantaranya adalah keterbukaan
dan keterlibatan publik.
Keterlibatan
publik dalam proses pembentukan qanun tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam Bab
VI Pasal 23 Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 sebagai berikut:
Setiap
tahapan penyiapan dan pembahasan qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi
publik.
Masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan
pembahasan rancangan Qanun.
Masyarakat
dalam memberi masukan harus menyebutkan identitas secara lengkap.
Masukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat pokok-pokok materi yang diusulkan.
Masukan
dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diagendakan dalam rapat
penyiapan atau pembahasan rancangan Qanun.
Mekanisme
pelibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya sesuai Pasal 25 ayat
(1) Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2007 diatur
sebagai berikut:
Pada
fase penyiapan prarancangan qanun oleh pemrakarsa pada masing-masing Satuan
Kerja Perangkat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 atau oleh Anggota/
Komisi/Gabungan Komisi/ Panitia Legislasi DPRA/DPRK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19;
pada
fase pembahasan oleh Tim Asistensi yang dibentuk oleh Gubernur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 melalui forum rapat dengar pendapat;
pada
fase pelaksanaan seminar akademik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12;
pada
fase pembahasan oleh DPRA/DPRK, sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan dalam
Tata Tertib DPRA/DPRK.
Lebih
lanjut ayat (2) menjelaskan: mekanisme pelibatan dan partisipasi masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan antara lain melalui Forum
Seminar, Lokakarya, Fokus Grup Diskusi, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan
bentuk-bentuk penjaringan aspirasi publik lainnya.
Mekanisme
pelibatan dan partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi penyebaran draft pra rancangan Qanun dan jadwal pembahasan kepada
masyarakat.(Pasal 25 ayat (3) Qanun Aceh No.3 Tahun 2007).
Masa
Partisipasi masyarakat ditetapkan dalam jadwal kegiatan pada setiap fase
penyiapan dan pembahasan pra rancangan Qanun/rancangan Qanun (Pasal 25 ayat (4)
Qanun Aceh No.3 Tahun 2007).
Masukan
yang diberikan oleh masyarakat melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25 paling lama 7 (tujuh) hari sejak dilakukan
penyebarluasan sudah harus disampaikan kepada DPRA/DPRK atau
Gubernur/Bupati/Walikota untuk menjadi bahan pertimbangan dalam penyempurnaan materi
rancangan Qanun (Pasal 26 Qanun Aceh No.3 Tahun 2007).
Akhirnya
dapat disimpulkan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan Qanun adalah
suatu proses keterlibatan masyarakat yang bertanggung jawab dalam suatu
kegiatan pengambilan keputusan dan berkontribusi dalam pelaksanaannya. Keterlibatan
partisipasi masyarakat dalam pembentukan Qanun ini sesuai dengan yang
disebutkan oleh Friedrich Karl von
Savigny yang menyatakan bahwa hukum itu tidak dibuat begitu saja, melainkan
tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Hukum bukan merupakan
rangkuman konsep teoritis dalam bermasyarakat, karena hukum tumbuh secara
alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah seiring
perubahan sosial. Sehingga hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam
masyarakat (living law), dengan kata
lain adalah pembentukan hukum tersebut haruslah dimulai dari bawah (buttom up) yaitu sesuai dengan aspirasi
dari masyarakat melalui ruang partisipasi publik.
Penulis: Erwin Selian